Sikap Kita Pada Kesalahan Ulama


Di antara ushul dan prinsip ahlus sunnah wal jama’ah yang agung yang diselisihi oleh firqah-firqah lain bahwasanya terkumpul kebaikan dan kejahatan pada diri seorang hamba. Maka dari sini bisa kita pahami bahwa seorang muslim bisa jadi pendapatnya ada yang haq dan ada yang batil, maka yang haq kita ambil dan yang batil kita tolak dan tinggalkan.

Ada sebagian orang yang ifrath (berlebih-lebihan) dalam menyikapi kesalahan seseorang termasuk ulama, begitu dia mengetahui seseorang alim salah dalam hal tertentu langsung gebyah uyah memutuskan tidak boleh menukil ilmu dari ulama tersebut dari a sampai z. Sikap ini tidak tepat, adapun yang benar mesti dipilah-pilahkan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, yaitu sebagai berikut:

1. Kesalahan dari ulama yang adil
Jika yang salah itu dari kalangan ulama yang adil lagi terpercaya, maka tidak ada keraguan lagi, tetap dinukil ilmu daripadanya. Ulama jenis ini mendapat pahala hatta dalam kesalahannya, akan tetapi salahnya tidak boleh diikuti. Inilah yang disebut kesalahan para mujtahidin, salah tetapi ada pahalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad dan ijtihadnya benar, maka dia medapat dua pahala, dan apabila dia menghukumi lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala (Mutafaq ‘alah)

Maka meskipun ijtihadnya salah memperoleh pahala, akan tetapi meski ada pahalanya tidak boleh diikuti kesalahannya dan tidak boleh diamalkan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka dia tertolak.” (HR Imam Muslim)

2. Kesalahan dari Ahlu Bid’ah
Jika yang salah dari kalangan ahlul bid’ah, maka rinciannya sebagai berikut:
a. Jika bid’ahnya mukaffirah (mengkafirkan), maka tidak diambil sesuatu ilmu darinya dan tidak boleh berguru kepadanya.

b. Jika bid’ahnya mufassiqah (memfasikkan), maka diambil ilmu darinya dengan dua syarat :
1. Tidak mendakwahkan bid’ahnya.
2. Tidak meriwayatkan atau membuat alasan-alasan palsu yang menguatkan bid’ahnya.

Wujud kesalahan dalam masalah ad dien mesti terjadi dan tidak dapat dielakkan karena merupakan ketentuan Allah Ta’ala dan kehendak-Nya dan Allah Ta’ala mentaqdirkan kesalahan-kesalahan itu bersumber dari tiga golongan manusia, yaitu :
1. Kesalahan orang yang ‘alim.
2. Kebodohan orang-orang yang berpura-pura ‘alim.
3. Kesalahan ahlul bid’ah dan ahluz zargh (orang-orang yang menyeleweng).

Dan di antara tujuan Allah Ta’ala mentaqdirkan adanya kesalahan itu, termasuk kesalahan seorang ‘alim yang fadhil adalah untuk menguji hamba-hamb-Nya, siapa yang benar-benar mengikuti firman-firman-Nya dan sabda Nabi-Nya, dan siapa pula yang mengikuti ucapan dan pendapat manusia. Ingat ucapan Amar bin Yasir radliallahu ‘anhu yang diabadikan dalam sejarah, kata beliau: “Sesungguhnya Aisyah radliallahu ‘anha telah berjalan menuju Bashrah, demi Allah, sesungguhnya dia adalah istri Nabi kalian shallallahu ‘alahi wa sallam di dunia dan di akhirat, akan tetapi Allah Subhaanahu wa ta’aala menguji kalian, untuk mengetahui hanya kepada-Nya taat atau kepada dia. Dan dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya dia adalah istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat, akan tetapi dia adalah termasuk ujian bagi kalian.” (Shahihul Bukhari no.7100 dan 7101)

Disamping Allah Ta’ala mentaqdirkan adanya kesalahan-kesalahan itu – dengan rahmat-Nya kepada ummat ini – Allah Ta’ala juga mentaqdirkan bahwasanya ummat ini tidak akan berijma’ dan bersepakat dalam kesalahan, maknanya akan senantiasa ada ulama yang benar dan kelompok yang benar selama-lamanya hingga hari kiamat. Kemudian di antara tugas dan kewajiban yang dibebankan di atas pundak ulama yang mengetahui kebenaran tersebut adalah menyampaikan kebenaran dan menunjukkan kesalahan-kesalahan itu.

Penulis: alghaits

Mengembara ke tana dorang, dalam pengembaraan ke tana Raabul Izzah

Tinggalkan komentar